Sunday, January 27, 2019

islam masuk istana raja


MAKALAH SEJARAH INDONESIA
ISLAM MASUK ISTANA RAJA 


DISUSUN OLEH

N. Sinta Sintia Nurhasanah
Mariana Siti Sopiah
Dendi Nurmansyah
Yakutatil Faridah
Nia Siti Khopipah
N. Dina Miranda
Neni Rismawati
Lina Marlina

DINAS PENDIDIKAN NASIONAL KAB. GARUT
SMK PLUS AL – ISTIQOMAH
Jln. Kamojang No. 31 Kp. Samarang Awi Kec. Samarang Kode Pos 44161
Kab. Garut Prov. Jawa Barat


KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha kuasa,  karena atas izin dan kuasanya makalah ini bisa kami buat. Kami sangat bersyukur karena kita masih bisa membuat makalah ini dengan tepat waktu.
Makalah ini berisi tentang pembahasan materi SEJARAH INDONESIA dalam BAB 3 yaitu menjelaskan tentang Masuknya Islam Ke Istana Raja. Kami harap semoga makalah yang kami buat ini bisa berguna untuk orang lain khususnya untuk kita.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini belum sempurna, mohon maaf  bila masih banyak yang kesalahan , mohon di maklumi karena kami masih dalam tahap pembelajaran.



Garut, 27 Januari 2019

Penulis
 

DAFTAR ISI

COVER 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
Latar Belakang 4
Rumusan Masalah 4
Tujuan 4
BAB II  ISI 6
Kerajaan - Kerajaan Islam Di Sumatra 6
Kerajaan - Kerajaan Islam Di Jawa 20
Kerajaan - Kerajaan Islam Di Kalimantan 31
Kerajaan - Kerajaan Islam Di Sulawesi 35
Kerajaan - Kerajaan Islam Di Maluku Utara 38
Kerajaan - Kerajaan Islam Di Papua 39
Kerajaan - Kerajaan Islam Di Nusa Tenggara 39
BAB III PENUTUP 42
Kesimpulan 42
Kritik dan Saran 42
DAFTAR PUSTAKA 43





BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Di Indonesia, terdapat banyak sekali keraton. Contohnya adalah keraton Yogyakarta. Keraton semacam ini pada perkembangannya memiliki peranan dan posisi yang sangat penting. Selain berfungsi sebagi simbol perkembangan pemerintahan islam, keraton juga menjadi lambang perjuangan kemerdekaan. Disana para raja atau tokoh – tokohnya mengibarkan panji – panji perlawanan terhadap penjajahan. Islam yang masuk ke istana memang telah menyamai bibit – bibit kemerdekaan dan persamaan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan kerajaan - kerajaan islam di Sumatra?
2. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan kerajaan - kerajaan islam di Jawa?
3. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan kerajaan - kerajaan islam di kalimantan?
4. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan kerajaan - kerajaan islam di Sulawesi?
5. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan kerajaan - kerajaan islam di Maluku Utara?
6. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan kerajaan - kerajaan islam di Papua?
7. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan kerajaan - kerajaan islam di Nusa Tenggara?
C.TUJUAN
1. Dapat mempelajari pertumbuhan dan perkembangan kerajaan - kerajaan islam di Sumatra.
2. Dapat mempelajari pertumbuhan dan perkembangan kerajaan - kerajaan islam di Jawa.
3. Dapat mempelajari pertumbuhan dan perkembangan kerajaan - kerajaan islam di Kalimantan.
4. Dapat mempelajari pertumbuhan dan perkembangan kerajaan - kerajaan islam di Sulawesi.
5. Dapat mempelajari pertumbuhan dan perkembangan kerajaan - kerajaan islam di Maluku Utara.
6. Dapat mempelajari pertumbuhan dan perkembangan kerajaan - kerajaan islam di Papua.
7. Dapat mempelajari pertumbuhan dan perkembangan kerajaan - kerajaan islam di Nusa Tenggara.


BAB II
ISI
ISLAM MASUK ISTANA RAJA

A. KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI SUMATRA
Sejak awal kedatangan Islam, pulau Sumatera termasuk daerah pertama dan terpenting dalam pengembangan agama Islam di Indonesia. Dikatakan demikian mengingat letak Sumatra yang strategis dan berhadapan langsung dengan jalur perdangan dunia, yakni Selat Malaka. Berdasarkan catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) dikatakan bahwa di Sumatra, terutama di sepanjang pesisir Selat Malaka dan pesisir barat Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam, baik yang besar maupun yang kecil. Diantara kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Aceh, Biar dan Lambri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, dan Barus. Menurut Tomé Pires, kerajaan-kerajaan tersebut ada yang sedang mengalami pertumbuhan, ada pula yang sedang mengalami perkembangan, dan ada pula yang sedang mengalami keruntuhannya.


1. Samudra Pasai
Samudera Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan 1275, atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai diceritakan bahwa Sultan Malik as-Shaleh sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudera bernama Marah Silu. Setelah menganut agama Islam kemudian berganti nama dengan Malik as-Shaleh. Berikut ini merupakan urutan para raja-raja yang memerintah di Kesultanan Samudera Pasai:

  • Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M)
  • Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326);
  • Sultan Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383);
  • Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405);
  • Sultanah Nahrisyah (1405-1412);
  • Abu Zain Malik Zahir (1412);
  • Mahmud Malik Zahir (1513-1524).

Nama sultan yang disebut terdapat dalam sumber sejarah Melayu dan hikayat raja – raja Pasai. Nama – nama itu, kecuali nama Sultan Malikush Shaleh juga terdapat dalam mata uang emas yang disebut dengan dirham.
Pada masa pemerintahan Sultan Malik As – Shaleh, Kerajaan Pasai mempunyai hubungan dengan negara China. Seperti yang disebutkan dalam sumber sejarah Dinasti Yuan, pada 1282 duta China bertemu dengan Menteri Kerajaan Sumatra di Quilan yang meminta agar raja Sumatra mengirimkan dutanya ke China. Pada tahun itu pula disebutkan bahwa kerajaan Sumatra mengirimkan dutanya yang bernama Sulaiman dan Syamsuddin.
Menurut Tome Pires, Kesultanan Samudra Pasai mencapai puncaknya pada awal abad ke-16. Kesultanan itu mengalami kemajuan di berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, pemerintahan, keagamaan, dan terutama ekonomi perdagangan. Diceritakan pula bahwa kesultanan Samudra Pasai slalu mengadakan hubungan persahabatan dengan Malaka, bahkan hubungan persahabatan itu diperkuat dengan perkawinan. Para pedagang yang pernah mengunjungi Pasai berasal dari berbagai negara seperti Rumi, Turki, Arab, Persia ( Iran ), Gujarat, Keling, Bengal, Melayu, Jawa, Siam, Kedah, dan Pegu. Sementara barang komoditas yang diperdagangkan adalah lada, sutera, dan kapur barus. Disamping komoditas itu sebagai penghasil pendapatan kesultanan Samudra pasai, juga diperoleh pendapat dari pajak yang dipungut dari pajak barang ekspor dan impor. Dalam sumber – sumber sejarah juga di jelaskan, bahwa Kesultanan Samudra Pasai telah menggunakan mata uang seperti uang kecil yang disebut dengan ceitis. Uang kecil itu ada yang terbuat dari emas dan ada pula yang terbuat dari dramas.
Dalam bidang keagamaan, Ibnu Batuta menjelaskan bahwa Kesultanan Samudra Pasai juga dikunjungi oleh para ulama dari Persia, Suriah ( Syria ), dan Isfahan. Dalam catatan Ibnu Batuta disebutkan bahwa Sultan Samudra Pasai sangan taat terhadap agama islam yang bermahzab Syafi’i. Sultan selalu dikelilingi oleh para ahli teologi islam.
Kesultanan Samudra Pasai mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Malaka menjadi kerajaan yang bercorak Islam karena amat erat hubungannya dengan Kerajaan Samudra Pasai. Hubungan tersebut semakin erat dengan diadakannya pernikahan antara putra – putri sultan dari Pasai dan Malaka sehingga pada awal abad 15 atau sekitar 1414 M tumbuhlah Kesultanan Islam Malaka, yang dimulai dengan pemerintahan Parameswara.
Dalam Hikayat Patani  terdapat cerita tentang pengislaman Raja Patani yang bernama Paya Tu Nakpa dilakukan oleh seorang dari pasai yang bernama Syaikh Sa’id, karena berhasil menyembuhkan Raja Patani. Setelah masuk Islam, raja berganti nama menjadi Sultan Isma’il Syah Zill Allah Fi Al-Alam dan juga ketiga orang putra dan putrinya yaitu Sultan Mudaffar Syah, Siti Aisyah, dan Sultan Mansyur.
Pada masa pemerintahan Sultan Mudaffar Syah juga datang lagi seorang ulama dari Pasai  yang bernama Syaikh Safi’uddin yang atas perintah  raja ia mendirikan masjid untuk orang – orang Muslim di Patani. Demikian pula jenis nisan kubur yang disebut Batu Aceh menjadi nisan kubur raja – raja di Patani, Malaka, dan Malaysia. Pada umumnya nisan kubur tersebut berbentuk menyerupai nisan kubur Sultan Malik As-Shaleh dan nisan – nisan kubur dari sebelum abad ke-17. Dilihat dari kesamaan jenis batu serta cara penulisan dan huruf – huruf bahkan dengan cara pengisian ayat – ayat Al – Qur’an dan nuansa kesufiannya, jelas Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam persebaran Islam di beberapa tempat di Asia tenggara dan demikian pula di bidang perekonomian dan perdagangan. Namun, sejak Portugis menguasai Malakapada 1511 dan meluaskan kekuasaanya, maka Kerajaan Islam Samusra Pasai mulai dikuasai sejak 1521. Kemudian Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah lebih berhasil menguasai Samedra Pasai. Kerajaan – kerajaan Islam yang terletak di Pesisir seperti  Aru, Kedir, dan lainnya lambat laun berada di bawah kekuasaan islam Aceh Darussalam yang sejak abad ke-16 makin mengalami perkembangan politik, ekonomi perdagangan, kebudayaan dan keagamaan.

2. Kesultanan Aceh Darussalam
Pada 1520 Aceh berhasil memasukkan Kerajaan Daya ke dalam kekuasaan Aceh Darussalam. Tahun 1524, Pedir dan Samudera Pasai ditaklukkan. Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali Mughayat Syah menyerang kapal Portugis di bawah komandan Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.
Pada 1529 Kesultanan Aceh mengadakan persiapan untuk menyerang orang Portugis di Malaka, tetapi tidak jadi karena Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada 1530, yang kemudian dimakamkan di Kandang XII Banda Aceh. Di antara penggantinya yang terkenal adalah Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538- 1571). Usaha-usahanya adalah mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abessinia (Ethiopia), dan Mesir. Pada 1563 ia mengirimkan utusannya ke Constantinopel untuk meminta bantuan dalam usaha melawan kekuasaan Portugis. Dua tahun kemudian datang bantuan dari Turki berupa teknisi-teknisi, dan dengan kekuatan tentaranya Sultan Alauddin Riayat Syah at-Qahhar menyerang dan menaklukkan banyak kerajaan, seperti Batak, Aru, dan Barus. Untuk menjaga keutuhan Kesultanan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar menempatkan suami saudara perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus, dua orang putra sultan diangkat menjadi Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan gelar resminya Sultan Ghari dan Sultan Mughal, dan di daerahdaerah pengaruh Kesultanan Aceh ditempatkan wakil-wakil dari Aceh.
Kemajuan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mengundang perhatian para ahli sejarah. Di bidang politik Sultan Iskandar Muda telah menundukkan daerah-daerah di sepanjang pesisir timur dan barat. Demikian pula Johor di Semenanjung Malaya telah diserang, dan kemudian rnengakui kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Kedudukan Portugis di Malaka terus-menerus mengalami ancaman dan serangan, meskipun keruntuhan Malaka sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara baru terjadi sekitar tahun 1641 oleh VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda. Perluasan kekuasaan politik VOC sampai Belanda pada dekade abad ke-20 tetap menjadi ancaman Kesultanan Aceh.


3. Kerajaan – Kerajaan Islam Di Riau


Kerajaan Islam di Riau dan Kepulauan Riau menurut berita Tome Pires (1512-1515)  antara lain Siak, Kampar, dan Indragiri. Keajaan Siak, Kampar, dan Indragiri pada abad ke-13 dan ke-14 dalam kekuasaan Kerajaan Melayu dan Singasari-Majapahit, maka kerajaan-kerajaan tersebut tumbuh menjadi kerajaan bercorak Islam sejak abad ke-15.
Pengaruh Islam yang sampai ke daerah itu mungkin akibat perkembangan  Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Malaka. Ketiga kerajaan di pesisir Sumatera Timur ini dikuasai Kerajaan Malaka pada masa Pemerintahan Sultan Mansyur Syah (wafat 1477). Bahkan pada masa pemerintahan Putranya, Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah (wafat 1488) banyak pulau di Selat Malaka (orang laut) termasuk Lingga-Riau, masuk Kerajaan Malaka. Siak menghasilkan padi, madu, lilin, rotan, bahan-bahan apotek, dan banyak emas. Kampar menghasilkan barang dagangan seperti emas, lilin, madu, biji-bijian, dan kayu gaharu. Indragiri menghasilkan barang-barang perdagangan, seperti Kampar, tapi emas dibeli dari pedalaman Minangkabau.
Siak menjadi daerah kekuasaan Malaka sejak penaklukan oleh Sultan Mansyur Syah di mana ditempatkan raja-raja sebagai wakil Kemaharajaan Melayu. Ketika Sultan Mahmud berada di Bintan, Raja Abdullah yang bergelar Sultan Khoja Ahmad Syah diangkat di Siak. Pada 1596 yang menjadi Raja Siak adalah Raja Hasan putra Ali Jalla Abdul Jalil, sementara saudaranya yang bernama Raja Husain ditempatkan di Kelantan. Kemudian di Kampar ditempatkan Raja Muhammad. Sejak VOC Belanda menguasai Malaka pada 1641 sampai abad ke-18 praktis ketiga kerajaan, yaitu Siak, Kampar, dan Indragiri berada dibawah pengaruh kekuasaan politik dan ekonomi-perdagangan VOC.  Perjanjian pada 14 Januari 1676 berisi, bahwa hasil timah harus dijual hanya kepada VOC.
Demikian pula dengan ditemukan tambang emas dari Petapahan, Kerajaan Siak, juga terkait oleh ikatan perjanjian monopoli perdagangan sehingga Raja Kecil pada 1723 mendirikan kerajaan baru di Buantan dekat Sebak Auh di Sungai Jantan Siak yang kemudian disebut juga Kerajaan Siak. Raja Kecil kemudian sebagai sultan memakai gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1723-1748), dan selama pemerintahannya ia meluaskan daerah kekuasaannya sambil melakukan perlawanan-perlawanan terhadap kekuatan politik VOC, bahkan sering muncul armadanya di Selat Malaka. Pada 1750, Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah memindahkan Ibukota Memra Besar, Sungai Jantan diubah namanya menjadi Sungai Siak dan kerajaannya sering disebut Kerajaan Siak Sri Indrapura. Karena VOC yang kantor dagangnya ada di Pulau Guntung di mulut Sungai Siak, sering menganggu lalu lintas kapal-kapal Kerajaan Siak Sri Indrapura, maka Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah dengan pasukannya pada 1760 menyerang benteng VOC.

Kerajaan Siak di bawah pemerintahan Sultan Sa’id Ali (1784-1811) banyak berjasa bagi rakyatnya. Ia berhasil memakmurkan kerajaan dan ia dikenal sebagai seorang sultan yang jujur. Daerah-daerah yang pada masa Raja Kecil melepaskna diri dari Kerajaan Siak dan berhasil ia kuasai kembali. Sultan Sa’id mengundurkan dirisebagai Sultan Siak pada 1811 dan kemudian pemerintahannya diganti oleh putranya, Tengku Ibrahim. Dibawah pemerintahan Tengku Ibrahim inilah Kerajaan Siak mengalami kemunduran sehingga banyak orang pindah ke Bintan, Lingga Tambelan, Terenggano, dan Pontianak. Ditambah lagi dengan adanya perjanjian dengan VOC pada 1822 dibukit Batu yang isinya menekan Kerajaan Siak tidak boleh mengadakan ikatan-ikatan atau perjanjian-perjanjian dengan negara lain kecuali Belanda. Dengan demikian, Kerajaan Siak Sri Indrapura semakin sempit geraknya dan semakin banyak dipengaruhi politik penjajahan Hindia-Belanda.

 Sebagai mana telah disebutkan Kerajaan Kampar sejak abad ke-15 berada dibawah Kerajaan Malaka. Pada masa pemerintahannya,Sultan Abdullah di Kampar tidak mau menghadap Sultan Mahmud Syah I di Bantan selaku pemegang kekuasaan Kemaharajaan Melayu. Akibatnya Sultan Mahmud Syah I mengirim pasukannya ke Kampar.Sultan Abdullah minta bantuan Portugis, dan berhasil mempertahankan Kampar. Ketika Sultan Abdullah di bawa ke Malakaoleh Portugis, maka Kampar ada dibawah pembesar-pembesar kerajaan, di antaranya, Mangkubumi Tun Perkasa yangmengirim utusan ke Kemaharajaan Melayu di bawah pimpinan Sultan Abdul Jalil Syah I yang memohon agar di Kempar di tempatkan raja.
Hasil permohonan tersebut dikirimkan seorang pembesar dari Kemaharajaan Melayu ialah Raja Abdurrahman bergelar Maharaja Dinda Idan berkedudukan di Pakantua. Hubungan antara Kerajaan Kampar di bawah pemerintahan Maharaja Lela Utama dengan Siak dan Kuantan diikat dengan hubungan perdagangan. Tetapi masa pemerintahan penggantinya Maharaja Dinda II memindahkan ibukota Kerajaan Kempar pada 1725 ke Palalawan. Kemudian kerajaan tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak, dan pada 4 Februari 1879 dengan terjadinya penjanjian pengakuan Kampar dibawah pemerintahan Hindia-Belanda. Kerajaan Indragiri sebelum 1641 yang berada dibawah Kemaharajaan Melayu berhubungan erat dengan Portugis, tetapi setelah Malaka diduduki VOC, mulailah berhubungan dengan VOC yang mendirikan kantor dagangnya diIndragiri berdsarka perjanjian 28 Oktober 1664.
Pada 1765, Sultan Hasan Shalahuddin Kramat Syah memindahkan ibukotanya ke Japura tetapi dipindahkan lagi pada 5 Januari 1815 ke Rengat oleh Sultan Ibrahim atau Raja Indragiri XVII. Sultan Ibrahim inilah yang ikut serta berpareang dengan Raja Haji di Teluk Ketapang pada 1784. Demikianlah, kekuasaan politik kerajaan ini sama sekali hilang berdasarkan Tractat Van Vrede en Vriend-schap 2 September 1838, berada dibawah pemerintahan Hindia Belanda,yang berarti jalannya pemerintahan Kerajaan Indragiri ditentukan pemerintah Hindia Belanda.
4. Kerajaan Islam Di Jambi
Sejarah masuknya Islam di Jambi tidaklah tunggal. Teori islam berasal dari ArabTeori Persia dan Teori India bahkan Hadratul Maut, Yaman menjadikan wacana tentang masuknya Islam di Jambi menjadi kaya. Bahkan tutur di Tengah masyarakat juga menyebutkan Islam berasal dari Turki
Mengikuti jejak Snouck Hurgronje, Islam masuk ke Indonesia pada abad XII – XIII. Masuknya islam setelah runtuhnya kerajaan Hindu terutama di Pantai Timur Sumatera.
Sebelumnya hubungan dagang antara Kerajaan-kerajaan yang beragama Hindu mengadakan hubungan dagang baik dengan pedagang India. Jambi selain dipengaruhi perdagangan dalam alur Selat Malaka, bergantiannya sistem pemerintahan juga dipengaruhi agama. Sebelum kedatangan Islam (banyak versi. Ada menyebut kedatangan Islam abad XII. Namun ada yang menyebutkan abad XVII), pengaruh Budha dan Hindu mendominasi kehidupan masyarakat.
Selama berabad-abad ibukota Malayu terletak di Muara Jambi, sebuah kompleks ritual-politik dengan jumlah penduduk yang lumayan besar. Schnittger  “menyebutkan “sebuah kota yang besar, barangkali lebih besar dari Palembang”
Bahkan  McKinnon menambahkan bahwa “situs Muara Jambi barangkali merupakan situs yang terbesar dan paling penting di Sumatra”. Selain itu juga terdapat Pelabuhan di Muara Sabak/koto Kandis yang ramai dari abad XII – XIV.
Dalam F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, menyebutkan “Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan
sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. mengenal Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo  atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih, Tempat ungko berebut tangis, rimba keramat, rimbo puyang, rimbo ganuh.  Kata-kata seperti Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo  atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih, Tempat ungko berebut tangis, rimba keramat, rimbo puyang, rimbo ganuh mempunyai pengaruh yang kuat dari ajaran Hindu Spritualitas Upanishad.
Ada yang mengatakan kedatangan Islam adalah awal abad Pertama Hijriah (abad 7). Teori kedua mengatakan kedatangan Islam dimulai di abad 13.  Sejak itu proses islamisasi terjadi. Hingga berdiri Kerajaan Muslim pada abad 13, Samudra Pasai. Pertumbuhan kerajaan Muslim dimulai di Malaka pada awal abad 15. Perkembangan ini kemudian hingga ke Jawa, Maluku hingga ke Patani (bagian utara Malaysia) dan bagian Selatan Thailand.
Ornamen masuknya Islam di Jambi dimulai dari pesisir Timur. Cerita Datuk Paduka Berhalo dan Rangkayo Hitam masih hidup dan dianggap sebagai Raja yang menganut agama Islam. Datuk Paduka Berhala dan Rangkayo Hitam merupakan Raja yang berkuasa di jalur perdagangan Selat Malaka. Posisi Jambi, Muara Zabag dan Pulau Berhala dalam lintasan selat Malaka membuat posisi keduanya begitu penting (abad 12-18 M).
Posisi pelabuhan di selat Malaka menyebabkan adanya pembagian kekuasaan. Pemerintahan di kota Bandar diserahkan kepada putra-putra Sultan yang berkedudukan sebagai Tumenggung atau Adipati. Kota ini menghasilkan seperti lada, kapur barus, gaharu, madu, lilin, pinang, emas dan kemudian diekspor. Sedangkan komoditas impor seperti, kain berwarna putih seperti belacu, drill, dan keramik dari Tiongkok.
Kesultanan di Selat Malaka mempunyai posisi penting dalam jalur perdagangan internasional dari berbagai bangsa lain seperti Tiongkok, India, Jepang dan Eropa. Islam kemudian berkembang dan menyumbang berbagai perkembangan sastra dan tulis menulis yang ditandai dengan arab Melayu
Dengan demikian, tidak dapat ditentukan dengan pasti, dari Negara mana muslim datang dan bersentuhan dengan wilayah di Melayu. Yang pasti, kedatangan Mulsim yang datang dan menyebarkan islam kepada masyarakat berasal dari Arab, Persia, India atau bisa saja Tiongkok. Mereka bermula sebagai pedagang, mubaligh atau pengajar agama dan kaum sufi. Dan kemudian ditambah dengan pelopor dari masyarakat yang kemudian menyebarkan islam setelah mendapatkan pendidikan di berbagai tempat seperti pesantren di jawa dan sekolah agama di Mekkah. Namun menurut catatan Tiongkok, Pie Hu Lu tahun 875 M, adanya kedatangan Ta-sih dan Po-Sse ke Chan Pei untuk membeli pinang pada awal abad IX M.
Menurut Ulu Kozok “Struktur masyarakat ilir cenderung lebih berlapis dengan seorang raja atau sultan sebagai kepala kerajaan, dan golongan elit yang dekat dengan pusat kekuasaan. Masyarakat ilir sangat berfokus pada dunia luar dan dengan mudah menyerap unsur kebudayaan asing seperti dari Eropa, India, Jawa, Timur Tengah, dan Tiongkok. Karena perdaganganinternasional baik di negara-negara Arab, maupun di India dan di Tiongkok didominasi oleh saudagar yang beragama Islam maka masyarakat ilir pun lebih dulu memeluk agama Islam, suatu proses yang sudah mulai sejak abad kedua belas dan mencapai puncak pada abad kelima belas.
Dalam Makalah Drs. H. Abdul Kadir Husein, M.Pd.I  menyebutkan ketahui bahwa orang yang pertama membawa Islam ke Jambi adalah seorang berkebangsaan Turki bernama Ahmad Salim, beliau adalah seorang saudagar yang diutus oleh ayah nya dari Turki untuk melakukan perdagangan ke Asia /Jambi. Ahmad Salim kemudian dikenal sebagai Datuk Paduko Berhalo pada abad XV Dia menikah dengan Putri Pinang Masak. Mohammad Redzuan Othman menyebutkanya “Puteri Selaras Pinang Masak.
Didalam “Undang-undang, Piagam dan Kisah Negeri Jambi” dijelaskan Orang Kayo Pingai merupakan anak tertua. Sedangkan adiknya bernama Orang Kayo Kedataran, Orang Kayo Hitam dan Orang Kayo Gemrik (perempuan). Namun M. Nasir Didalam bukunya Keris Siginjei Mengenal budaya daerah Jambi justru menyebutkan Orang Kayo Hitam adalah anak bungsu dari Datuk Paduko Berhalo dan Putri Pinang Masak (Putri Selaras Pinang Masak).
Setelah Orang Kayo Hitam wafat, ia di teruskan oleh putranya yang bernama pengeran Hilang di Aek yang bergelar Penembahan Rantau Kapas (1515-1560)*. Setelah beliau berhasil membangunan pondasi Islam, ahirnya pada abad ke XVII M berdirilah kesultanan pertama di Jambi yang berdasarkan Islam dengan raja pertamanya Sultan Abdul Kahar (1615-1643 M).
Menurut Abdul Kadir Husein, ada juga versi yang menyebutkan Islam datang dari kota Tariem, Hadramaut, Yaman di bawa oleh seorang Arab ‘Alawiyin bernama Habib Husein Al Baraqbah. Habib Husein Al Baraqbah berangkat dari Yaman menuju India. Dari India ke Aceh kemudian ke Palembang. Di Palembang, ia menetap serta menikah dengan anak pembesar kerajaan Palembang  serta mendapat dua orang putra yaitu Habib Qosyim bin Husein Baraqbah dan Syaid Abdullah (1706 M).
Pada tahun 1716 M, beliau melanjutkan da’wahnya menuju Jambi dan menetap di Kampung Arab Melayu Kecamatan Pelayangan Kota Jambi. Di sana beliau mengajarkan ilmu pengetahuan  Islam seperti Al Qur’an , Tafsir, Fiqih mazhab Syafi’i, Tauhid  ,serta Tasawuf.  Diantara murid-murid dari madrasah ini adalah Syech MO Bafadhol (mantan Rektor IAIN STS Jambi).
Catatan ini belum dilengkapi dengan sejarah perkembangan Islam di daerah hilir Jambi. Daerah yang terbuka dengan kedatangan pedagang Pantai Timur Sumatera masih menjadi catatan yang memperkaya dari perkembangan Islam di Jambi.
5. Kerajaan Islam Di Sumatera Selatan
Sejak Kerajaan Sriwijaya mengalami kelemahan bahkan runtuh sekitar abad ke-14, mulailah proses Islamisasi sehingga pada akhir abad ke-15 muncul komunitas Muslim di Palembang. Palembang pada akhir abad ke-16 sudah merupakan daerah kantong Islam terpenting atau bahkan pusat Islam di bagian selatan “Pulau Emas”. Bukan saja karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang banyak dikunjungi pedagang Arab/Islam pada abad-abad kejayaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh kebesaran Malaka yang tak pernah melepaskan keterlibatannya dengan Palembang sebagai tanah asalnya.
Palembang sekitar awal abad ke-16 sudah ada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Demak masa pemerintahan Pate Rodim seperti diberitakan Tome Pires (1512-1515). Mereka berdagang dengan Malaka dan Pahang. Komoditi yang diperdagangkan adalah beras dan bahan makanan, katun, rotan, lilin, madu, anggur, emas, besi, kapur barus, dan lain-lainnya.
Meskipun kedudukan Palembang sebagai pusat penguasa Muslim sudah ada sejak 1550, namun nama tokoh yang tercatat menjadi sultan pertama Kesultanan Palembang ialah Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-Iman/Pangeran Kusumo Abdurrahman/ Kiai Mas Endi sejak 1659 sampai 1706. Palembang berturut-turut diperintah oleh 11 sultan sejak 1706 dan sultan yang terakhir, Pangeran Kromojoyo/Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823-1825).

Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada 1610. Pada 4 November 1659 terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang dengan VOC di bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton Kesultanan Palembang dibakar. Kota Palembang dapat direbut lagi oleh pasukan Palembang dan kemudian dilakukan pembangunan-pembangunan, kecuali Masjid Agung yang hingga kini masih dapat disaksikan meskipun sudah ada beberapa perubahan. Masjid agung mulai dibangun 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758).

Pada masa pemerintahan putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-1774) syiar agama Islam makin pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan dari tokoh-tokoh, antara lain, Abdussamad al- Palimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas Muhammad ibn Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn Syaikh Shibabuddin, Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah, dan lainnya. Mengenai ulama terkenal Abdussamad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-1789), telah dibicarakan Azyumardi Azra dalam Historiografi Islam Kontemporer secara lengkap tentang riwayatnya, ajaran serta kitab-kitabnya dan guru-guru sufi serta tarekatnya. Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Palembang sejak pemerintahan Sultan Mahmud Badar II mendapat serangan dari pasukan Hindia Belanda pada Juli 1819 atau yang dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Muntinghe).
Serangan besar-besaran oleh pasukan Belanda pimpinan J.C. Wolterboek yang terjadi pada Oktober 1819 juga dapat dipukul mundur oleh prajurit-prajurit Kesultanan Palembang. Tetapi pihak Belanda pada Juni 1821 mencoba lagi melakukan penyerangan dengan banyak armada di bawah pimpinan panglima Jenderal de Kock. Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap kemudian dibuang ke Ternate. Kesultanan Palembang sejak 7 Oktober 1823 dihapuskan kekuasaan daerah Palembang berada langsung di bawah Pemerintah Hindia Belanda dengan penempatan Residen Jon Cornelis Reijnst yang tidak diterima. Sultan Ahmad Najaruddin Prabu Anom karena memberontak akhirnya ditangkap kemudian diasingkan ke Banda, dan seterusnya dipindahkan ke Menado.

6. Kerajaan Islam Di Sumatera Barat
Awal masuk dan berkembangnya Islam di daerah Sumatera Barat masih sukar dipastikan. Berita dari Cina dari dinasti T’ang menyebutkan bahwa pada sekitar abad ke-7 M (674 M) ada kelompok orang Arab (Ta-shih) dan yang oleh W.P. Goeneveldt perkampungan mereka ada di pesisir barat Sumatera. Selain pendapat tersebut, ada juga yang berpendapat bahwa Islam datang dan berkembang di daerah Sumatera Barat baru sekitar akhir abad ke-14 M atau abad ke-15 M dan Islam sudah memperoleh pengaruhnya di kerajaan besar Minangkabau.
Bahwa Islam sudah masuk ke daerah Minangkabau pada sekitar akhir abad ke-15 mungkin dapat dihubungkan dengan cerita yang terdapat dalam naskah kuno dari Kerinci tentang Siak Lengih Malin Sabiyatullah asal Minangkabau yang mengenalkan Islam di daerah Kerinci, semasa dengan Putri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai, Parpatih Nan Sabatang yang kesemuanya berada di daerah Kerinci.
Tome Pires (1512-1515) juga mencatat keberadaan tempat-tempat seperti Pariaman, Tiku, bahkan Barus. Dari ketiga tempat ini diperoleh barang-barang perdagangan, seperti emas, sutra, damar, lilin, madu kamper, kapur barus, dan lainnya. Setiap tahun ketiga tempat tersebut juga didatangi dua atau tiga kapal dari Gujarat yang membawa barang dagangannya antara lain pakaian.
Sejak awal abad ke-19 timbul pembaruan Islam di daerah Sumatra Barat yang membawa pengaruh Wahabiyah dan kemudian memunculkan “Perang Padri “, Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di kawasan Kerajaan Pagaruyung. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama.
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.
Perjuangan kaum Padri itu makin kuat, tetapi pihak kaum Adat dibantu Belanda untuk keuntungan politik dan ekonominya. Hal ini membuat kaum Padri melawan dua kelompok sekaligus yaitu kaum Adat dan kaum penjajah Belanda termasuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. Pada awal abad ke-19, Belanda dengan adanya celah pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama dalam Perang Padri, memakai kesempatan demi keuntungan politik dan ekonominya.
Tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran. Perlawanan Padri diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri terutama Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran Benteng Bonjol, pada 25 Oktober 1837. Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda pada akhir 1838 berhasil mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonominya di daerah Minangkabau atau di Sumatra Barat. Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, dan pada 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, serta pada 1841 dipindahkan ke Menado kemudian ia wafat di tempat itu pada 6 November 1864.
B. KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI JAWA
Islam masuk ke Jawa melalui Pesisir utara Pulau Jawa. Bukti sejarah tantang awal mula kedatangan islam di Jawa antara lain ialah ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat tahun 475 H atau 1082 M di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti Persia.
Disamping itu, di gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan ( satu tempat di Persia ) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokertojuga ditemukan ratusan makan islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374. Diperkirakan makam – makam ini ialah makam keluarga istana Maja Pahit. Jadi kesimpulannya adalah bahwa islam sudah lama masuk ke Pulau Jawa, jauh sebelum bangsa barat menjejakkan kaki di pulau ini.
1. Kerajaan Demak
Para ahli memperkirakan Demak berdiri tahun 1500. Sementara Majapahit hancur beberapa waktu sebelumnya. Menurut sumber sejarah lokal di Jawa, keruntuhan Majapahit terjadi sekitar tahun 1478. Hal ini ditandai dengan candrasengkala, Sirna Hilang Kertaning Bhumi yang berarti memiliki angka tahun 1400 Saka. Raja pertama kerajaan Demak adalah Raden Fatah, yang bergelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah. Raden Fatah memerintah Demak dari tahun 1500- 1518 M. Menurut cerita rakyat Jawa Timur, Raden Fatah merupakan keturunan raja terakhir dari Kerajaan Majapahit,  yaitu Raja Brawijaya V. Di bawah pemerintahan Raden Fatah, kerajaan Demak berkembang dengan pesat karena memiliki daerah pertanian yang luas sebagai penghasil bahan makanan, terutama beras. Selain itu, Demak juga tumbuh menjadi sebuah kerajaan maritim karena letaknya di jalur perdagangan antara Malaka dan Maluku. Oleh karena itu Kerajaan Demak disebut juga sebagai sebuah kerajaan yang agraris-maritim.

Barang dagangan yang diekspor Kerajaan Demak antara lain beras, lilin dan madu. Barang-barang itu diekspor ke Malaka, Maluku dan Samudra Pasai. Pada masa pemerintahan Raden Fatah, wilayah kekuasaan Kerajaan Demak cukup luas, meliputi Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan. Daerah-daerah pesisir di Jawa bagian Tengah dan Timur kemudian ikut mengakui kedaulatan Demak dan mengibarkan panji-panjinya. Kemajuan yang dialami Demak ini dipengaruhi oleh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Karena Malaka sudah dikuasai oleh Portugis, maka para pedagang yang tidak simpatik dengan kehadiran Portugis di Malaka beralih haluan menuju pelabuhan-pelabuhan Demak seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik. Pelabuhanpelabuhan tersebut kemudian berkembang menjadi pelabuhan transit.
Selain tumbuh sebagai pusat perdagangan, Demak juga tumbuh menjadi pusat penyebaran agama Islam. Para wali yang merupakan tokoh penting pada perkembangan Kerajaan Demak ini, memanfaatkan posisinya untuk lebih menyebarkan Islam kepada penduduk Jawa. Para wali juga berusaha menyebarkan Islam di luar Pulau Jawa. Penyebaran agama Islam di Maluku dilakukan oleh Sunan Giri sedangkan di daerah Kalimantan Timur dilakukan oleh seorang penghulu dari Kerajaan Demak yang bernama Tunggang Parangan. Setelah Kerajaan Demak lemah maka muncul Kerajaan Pajang.

2. Kerajaan Mataram
Setelah Kerajaan Demak berakhir, berkembanglah Kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Di bawah kekuasaannya, Pajang berkembang baik. Bahkan berhasil mengalahkan Arya Penangsang yang berusaha merebut kekuasaannya. Tokoh yang membantunya mengalahkan Arya Penangsang di antaranya Ki Ageng Pemanahan (Ki Gede Pemanahan). la diangkat sebagai bupati (adipati) di Mataram. Kemudian puteranya, Raden Bagus (Danang) Sutawijaya diangkat anak oleh Sultan Hadiwijaya dan dibesarkan di istana. Sutawijaya dipersaudarakan dengan putra mahkota, bernama Pangeran Benowo.
Pada tahun 1582, Sultan Hadiwijaya meninggal dunia. Penggantinya, Pangeran Benowo merupakan raja yang lemah. Sementara Sutawijaya yang menggantikan Ki Gede Pemanahan justru semakin menguatkan kekuasaannya sehingga akhirnya Istana Pajang pun jatuh ke tangannya. Sutawijaya segera memindahkan pusaka Kerajaan Pajang ke Mataram. Sutawijaya sebagai raja pertama dengan gelar: Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Pusat kerajaan ada di Kota Gede, sebelah tenggara Kota Yogyakarta sekarang. Panembahan Senapati digantikan oleh puteranya yang bernama Mas Jolang (1601-1613). Mas Jolang kemudian digantikan oleh puteranya bernama Mas Rangsang atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung (1613-1645). Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah Mataram mencapai zaman keemasan. Dalam bidang politik pemerintahan, Sultan Agung berhasil memperluas wilayah Mataram ke berbagai daerah yaitu, Surabaya (1615), Lasem, Pasuruhan (1617), dan Tuban (1620). Di samping berusaha menguasai dan mempersatukan berbagai daerah di Jawa, Sultan Agung juga ingin mengusir VOC dari Kepulauan Indonesia. Kemudian diadakan dua kali serangan tentara Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Mataram mengembangkan birokrasi dan struktur pemerintahan yang teratur. Seluruh wilayah kekuasaan Mataram diatur dan dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut.
Kutagara. Kutagara atau kutanegara, yaitu daerah keraton dan sekitarnya.
Negara agung. Negara agung atau negari agung, yaitu daerah-daerah yang ada di sekitar kutagara. Misalnya, daerah Kedu, Magelang, Pajang, dan Sukawati.
Mancanegara. Mancanegara yaitu daerah di luar negara agung. Daerah ini meliputi mancanegara wetan (timur), misalnya daerah Ponorogo dan sekitarnya, serta mancanegara won (barat), misalnya daerah Banyumas dan sekitarnya.
Pesisiran. Pesisiran yaitu daerah yang ada di pesisir. Daerah ini juga terdapat daerah pesisir kulon (barat), yakni Demak terus ke barat, dan pesisir wetan (timur), yakni Jepara terus ke timur.
Mataram berkembang menjadi kerajaan agraris. Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah-daerah persawahan yang luas. Seperti yang dilaporkan oleh Dr. de Han, Jan Vos dan Pieter Franssen bahwa Jawa bagian tengah adalah daerah pertanian yang subur dengan hasil utamanya adalah beras. Pada abad ke-17, Jawa benar-benar menjadi lumbung padi. Hasil-hasil yang lain adalah kayu, gula, kelapa, kapas, dan hasil palawija.

Di Mataram dikenal beberapa kelompok dalam masyarakat. Ada golongan raja dan keturunannya, para bangsawan dan rakyat sebagai kawula kerajaan. Kehidupan masyarakat bersifat feodal karena raja adalah pemilik tanah beserta seluruh isinya. Sultan dikenal sebagai panatagama, yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, Sultan memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Rakyat sangat hormat dan patuh, serta hidup mengabdi pada sultan.

Bidang kebudayaan juga maju pesat. Seni bangunan, ukir, lukis, dan patung mengalami perkembangan. Kreasikreasi para seniman, misalnya terlihat pada pembuatan gapura-gapura, serta ukir-ukiran di istana dan tempat ibadah. Seni tari yang terkenal adalah Tari Bedoyo Ketawang. Dalam prakteknya, Sultan Agung memadukan unsur-unsur budaya Islam dengan budaya Hindu-Jawa. Sebagai contoh, di Mataram diselenggarakan perayaan sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw, dengan membunyikan gamelan Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu. Kemudian juga diadakan upacara grebeg. Grebeg diadakan tiga kali dalam satu tahun, yaitu setiap tanggal 10 Dzulliijah (Idul Adha), 1 Syawal (Idul Fitri), dan tanggal 12 Rabiulawal (Maulid Nabi). Bentuk dan kegiatan upacara grebeg adalah mengarak gunungan dari keraton ke depan masjid agung. Gunungan biasanya dibuat dari berbagai makanan, kue, dan hasil bumi yang dibentuk menyerupai gunung. Upacara grebeg merupakan sedekah sebagai rasa syukur dari raja kepada Tuhan Yang Maha Esa dan juga sebagai pembuktian kesetiaan para bupati dan punggawa kerajaan kepada rajanya.

Sultan Agung wafat pada 1645. Ia dimakamkan di Bukit Imogiri. Ia digantikan oleh puteranya yang bergelar Amangkurat I. Akan tetapi, pribadi raja ini sangat berbeda dengan pribadi Sultan Agung. Amangkurat I adalah seorang raja yang lemah, berpandangan sempit, dan sering bertindak kejam. Mataram mengalami kemunduran apalagi adanya pengaruh VOC yang semakin kuat. Dalam perkembangannya Kerajaan Mataram akhirnya dibagi dua berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755). Sebelah barat menjadi Kesultanan Yogyakarta dan sebelah timur menjadi Kasunanan Surakarta.

3. Kesultanan Banten
Kerajaan Banten berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan. Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin atau lebih sohor dengan sebutan Fatahillah, mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan, yakni Kesultanan Banten.
Pada awalnya kawasan Banten dikenal dengan nama Banten Girang yang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugis dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugis dari Malaka tahun 1513. Atas perintah Sultan Trenggono, Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.

 Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Fatahillah juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Sultan Trenggono, maka Banten melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Pada 1570 Fatahillah wafat. Ia meninggalkan dua orang putra laki-laki, yakni Pangeran Yusuf dan Pangeran Arya (Pangeran Jepara). Dinamakan Pangeran Jepara, karena sejak kecil ia sudah diikutkan kepada bibinya (Ratu Kalinyamat) di Jepara. Ia kemudian berkuasa di Jepara menggantikan Ratu Kalinyamat, sedangkan Pangeran Yusuf menggantikan Fatahillah di Banten. Pangeran Yusuf melanjutkan usaha-usaha perluasan daerah yang sudah dilakukan ayahandanya. Tahun 1579, daerah-daerah yang masih setia pada Pajajaran ditaklukkan. Untuk kepentingan ini Pangeran Yusuf memerintahkan membangun kubu-kubu pertahanan. Tahun 1580, Pangeran Yusuf meninggal dan digantikan oleh puteranya, yang bernama Maulana Muhammad. Pada 1596, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Pada waktu itu Palembang diperintah oleh Ki Gede ing Suro (1572 - 1627). Ki Gede ing Suro adalah seorang penyiar agama Islam dari Surabaya dan perintis perkembangan pemerintahan kerajaan Islam di Palembang. Kala itu Kerajaan Palembang lebih setia kepada Mataram dan sekaligus merupakan saingan Kerajaan Banten. Itulah sebabnya, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Kerajaan Palembang dapat dikepung dan hampir saja dapat ditaklukkan. Akan tetapi, Sultan Maulana Muhammad tiba-tiba terkena tembakan musuh dan meninggal. Oleh karena itu, ia dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang. Serangan tentara Banten terpaksa dihentikan, bahkan akhirnya ditarik mundur kembali ke Banten.
Gugurnya Maulana Muhammad menimbulkan berbagai perselisihan di istana. Putra Maulana Muhammad yang bernama Abumufakir Mahmud Abdul Kadir, masih kanak-kanak. Pemerintahan dipegang oleh sang Mangkubumi. Akan tetapi, Mangkubumi berhasil disingkirkan oleh Pangeran Manggala. Pangeran Manggala berhasil mengendalikan kekuasaan di Banten. Baru setelah Abumufakir dewasa dan Pangeran Manggala meninggal tahun 1624, maka Banten secara penuh diperintah oleh Sultan Abumufakir Mahmud Abdul Kadir.
Pada tahun 1596 orang-orang Belanda datang di pelabuhan Banten untuk yang pertama kali. Terjadilah perkenalan dan pembicaraan dagang yang pertama antara orang-orang Belanda dengan para pedagang Banten. Tetapi dalam perkembangannya, orang-orang Belanda bersikap angkuh dan sombong, bahkan mulai menimbulkan kekacauan di Banten. Oleh karena itu, orang-orang Banten menolak dan mengusir orang-orang Belanda. Akhirnya, orang-orang Belanda kembali ke negerinya. Dua tahun kemudian, orang-orang Belanda datang lagi. Mereka menunjukkan sikap yang baik, sehingga dapat berdagang di Banten dan di Jayakarta. Menginjak abad ke-17 Banten mencapai zaman keemasan. Daerahnya cukup luas. Setelah Sultan Abumufakir meninggal, ia digantikan oleh puteranya bernama Abumaali Achmad. Setelah Abumaali Achmad, tampillah sultan yang terkenal, yakni Sultan Abdulfattah atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah pada tahun 1651 - 1682.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten terus mengalami kemajuan. Letak Banten yang strategis mempercepat perkembangan dan kemajuan ekonomi Banten. Kehidupan sosial budaya juga mengalami kemajuan. Masyarakat umum hidup dengan rambu-rambu budaya Islam. Secara politik pemerintahan Banten juga semakin kuat. Perluasan wilayah kekuasaan terus dilakukan bahkan sampai ke daerah yang pernah dikuasai Kerajaan Pajajaran. Namun ada sebagian masyarakat yang menyingkir di pedalaman Banten Selatan karena tidak mau memeluk agama Islam. Mereka tetap mempertahankan agama dan adat istiadat nenek moyang. Mereka dikenal dengan masyarakat Badui. Mereka hidup mengisolir diri di tanah yang disebut tanah Kenekes. Mereka menyebut dirinya orang-orang Kejeroan. Dalam bidang kebudayaan, seni bangunan mengalami perkembangan. Beberapa jenis bangunan yang masih tersisa, antara lain, Masjid Agung Banten, bangunan keraton dan gapura-gapura.
Pada masa akhir pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa timbul konflik di dalam istana. Sultan Ageng Tirtayasa yang berusaha menentang VOC, kurang disetujui oleh Sultan Haji sebagai raja muda. Keretakan di dalam istana ini dimanfaatkan VOC dengan politik devide et impera. VOC membantu Sultan Haji untuk mengakhiri kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa membuat semakin kuatnya kekuasaan VOC di Banten. Raja-raja yang berkuasa berikutnya, bukanlah raja-raja yang kuat. Hal ini membawa kemunduran Kerajaan Banten.
4. Kesultanan Cirebon
Kesultanan cirebon merupakan kesultanan di pantai utara jawa barat dan kerajaan islam pertama di jawa barat. Cirebon pada saat sekarang merupakan nama satu wilayah administrasi, ibu kota, dan kota. Nama cirebon juga melekat pada nama bekas sebuah keresidenan yang meliputi kabupaten-kabupaten indramayu, kuningan, majalengka, dan cirebon.
Sumber-sumber naskah tentang cirebon yang disusun oleh para keturunan kesultanan dan para pujangga kraton umumnya berasal dari akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18. Dari sumber naskah setempat, yang dianggap tertua adalah naskah yang ditulis oleh pangeran wangsakerta. Selain sumber setempat, terdapat pula sumber-sumber asing. Yang dianggap tertua berasal dari catatan tome pires -mengunjungi cirebon pada tahun 1513-yang berjudul suma oriental.
Mengenai nama cirebon terdapat dua pendapat. Babad setempat, seperti nagarakertabumi (ditulis oleh pangeran wangsakerta), purwaka caruban nagari (ditulis oleh pangeran arya cerbon pada tahun 1720), dan babad cirebon (ditulis oleh ki martasiah pada akhir abad ke-18) menyebutkan bahwa kota cirebon berasal dari kata ci dan rebon (udang kecil). Nama tersebut berkaitan dengan kegiatan para nelayan di muara jati, dukuh pasambangan, yaitu membuat terasi dari udang kecil (rebon). Adapun versi lain yang diambil dari nagarakertabhumi menyatakan bahwa kata cirebon adalah perkembangan kata caruban yang berasal dari istilah sarumban yang berarti pusat percampuran penduduk.
Di pasambangan terdapat sebuah pesantren yang bernama gunung jati yang dipimpin oleh syekh datu kahfi (syekh nurul jati). Di pesantren inilah pangeran walangsungsang (putra raja pajajaran, prabu siliwangi) dan adiknya, nyai rara santang, pertama kali mendapat pendidikan agama islam.

Pada awal abad ke-16, cirebon masih di bawah kekuasaan pakuan pajajaran. Pangeran walangsungsang ditempatkan oleh raja pajajaran sebagai juru labuhan di cirebon. Ia bergelar cakrabumi. Setelah cukup kuat, walangsungsang memproklamasikan kemerdekaan cirebon dan bergelar cakrabuana. Ketika pemerintahannya telah kuat, walangsungsang dan nyai rara santang melaksanakan ibadah haji ke mekah. Sepulang dari mekah ia memindahkan pusat kerajaannya ke lemahwungkuk. Di sanalah kemudian didirikan keraton baru yang dinamakannya pakungwati.

Sumber-sumber setempat menganggap pendiri cirebon adalah walangsungsang, namun orang yang berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah kesultanan adalah syarif hidayatullah yang oleh babad cirebon dikatakan identik dengan sunan gunung jati (wali songo). Sumber ini juga mengatakan bahwa sunan gunung jati adalah keponakan dan pengganti pangeran cakrabuana. Dialah pendiri dinasti raja-raja cirebon dan kemudian juga banten.
Setelah cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan islam, sunan gunung jati berusaha mempengaruhi kerajaan pajajaran yang belum menganut agama islam. Ia mengembangkan agama ke daerah-daerah lain di jawa barat.
Setelah sunan gunung jati wafat (menurut negarakertabhumi dan purwaka caruban nagari tahun 1568), dia digantikan oleh cucunya yang terkenal dengan gelar pangeran ratu atau panembahan ratu. Pada masa pemerintahannya, cirebon berada di bawah pengaruh mataram. Kendati demikian, hubungan kedua kesultanan itu selalu berada dalam suasana perdamaian. Kesultanan cirebon tidak pernah mengadakan perlawanan terhadap mataram. Pada tahun 1590, raja mataram , panembahan senapati, membantu para pemimpin agama dan raja cirebon untuk memperkuat tembok yang mengelilingi kota cirebon. Mataram menganggap raja-raja cirebon sebagai keturunan orang suci karena cirebon lebih dahulu menerima islam. Pada tahun 1636 panembahan ratu berkunjung ke mataram sebagai penghormatan kepada sultan agung yang telah menguasai sebagian pulau jawa.
Panembahan ratu wafat pada tahun 1650 dan digantikan oleh putranya yang bergelar panembahan girilaya. Keutuhan cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai pada masa pnembahan girilaya (1650-1662). Sepeninggalnya, sesuai dengan kehendaknya sendiri, cirebon diperintah oleh dua putranya, martawijaya (panembahan sepuh) dan kartawijaya (panembahan anom). Panembahan sepuh memimpin kesultanan kasepuhan dengan gelar syamsuddin, sementara panembahan anom memimpin kesultanan kanoman dengan gelar badruddin. Saudara mereka, wangsakerta, mendapat tanah seribu cacah (ukuran tanah sesuai dengan jumlah rumah tangga yang merupakan sumber tenaga).
Perpecahan tersebut menyebabkan kedudukan kesultanan cirebon menjadi lemah sehingga pada tahun 1681 kedua kesultanan menjadi proteksi voc. Bahkan pada waktu panembahan sepuh meninggal dunia (1697), terjadi perebutan kekuasaan di antara kedua putranya. Keadaan demikian mengakibatkan kedudukan voc semakin kokoh. Dalam perjanjian kertasura 1705 antara mataram dan voc disebutkan bahwa cirebon berada di bawah pengawasan langsung voc.
Walaupun demikian kemunduran politik itu ternyata sama sekali tidak mengurangi wibawa cirebon sebagai pusat keagamaan di jawa barat. Peranan historis keagamaan yang dijalankan sunan gunung jati tak pernah hilang dalam kenangan masyarakat. Pendidikan keagamaan di cirebon terus berkembang. Pada abad ke-17 dan ke-18 di keraton-keraton cirebon berkembang kegiatan-kegiatan sastra yang sangat memikat perhatian. Hal ini antara lain terbukti dari kegiatan karang-mengarang suluk, nyanyian keagamaan islam yang bercorak mistik. Di samping itu, pesantren-pesantren yang pada masa awal islam berkembang di daerah pesisir pulau jawa hanya bertahan di cirebon; selebihnya mengalami kemunduran atau pindah ke pedalaman.
Keraton para keturunan sunan gunung jati tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan pengaruh pemerintah hindia belanda. Kesultanan itu bahkan masih dipertahankan sampai sekarang. Meskipun tidak memiliki pemerintahan administratif, mereka tetap meneruskan tradisi kesultanan cirebon. Misalnya, melaksanakan panjang jimat (peringatan maulid nabi muhammad saw) dan memelihara makam leluhurnya sunan gunung jati.
C. KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN
Disamping Sumatra dan Jawa, ternyata di Kalimantan juga terdapat beberapa kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Apakah kamu sudah mengetahui nama kerajaan-kerajaan Islam yang tumbuh di Kalimantan? Di antara kerajaan Islam itu adalahKesultanan Pasir (1516), Kesultanan Banjar (1526-1905), Kesultanan Kotawaringin, Kerajaan Pagatan (1750), Kesultanan Sambas (1671), Kesultanan Kutai Kartanegara, Kesultanan Berau (1400), Kesultanan Sambaliung (1810), Kesultanan Gunung Tabur (1820), Kesultanan Pontianak (1771), Kesultanan Tidung, dan Kesultanan Bulungan.
1. Kerajaan Pontianak
Kerajaan-kerajaan yang terletak di daerah Kalimantan Barat antara lain Tanjungpura dan Lawe. Kedua kerajaan tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551). Tanjungpura dan Lawe menurut berita musafir Portugis sudah mempunyai kegiatan dalam perdagangan baik dengan Malaka dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah oleh Pate atau mungkin adipati kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang diperintah Pati Unus. Tanjungpura dan Lawe (daerah Sukadana) menghasilkan komoditi seperti emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang dagangan dari Malaka yang dimasukkan ke daerah itu, demikian pula jenis pakaian dari Bengal dan Keling yang berwarna merah dan hitam dengan harga yang mahal dan yang murah. Pada abad ke-17 kedua kerajaan itu telah berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram terutama dalam upaya perluasan politik dalam menghadapi ekspansi politik VOC.
Demikian pula Kotawaringin yang kini sudah termasuk wilayah Kalimantan Barat pada masa Kerajaan Banjar juga sudah masuk dalam pengaruh Mataram, sekurang-kurangnya sejak abad ke-16. Meskipun kita tidak mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon ada pemberitaan bahwa sekitar abad ke-18 atau 1720 ada rombongan pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang di antaranya dating ke daerah Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca al- Qur’an, ilmu fikih, dan ilmu hadis. Mereka di antaranya Syarif Idrus bersama anak buahnya pergi ke Mampawah, tetapi kemudian menelusuri sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil sampailah ke suatu tempat yang menjadi cikal bakal kota Pontianak. Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi pimpinan utama masyarakat di tempat itu dengan gelar Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota dengan pembuatan benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu. Daerah itu mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan keagamaan, sehingga banyak para pedagang yang berdatangan dari berbagai negeri.

Pemerintahan Syarif Idrus (lengkapnya: Syarif Idrus al-Aydrus ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Hassan ibn Alwi ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Husin ibn Abdullah al-Aydrus) memerintah pada 1199-1209 H atau 1779-1789 M.
Cerita lainnya mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan Islam dan datang ke Kalimantan bagian barat terutama ke Sukadana ialah Habib Husin al-Gadri. Ia semula singgah di Aceh dan kemudian ke Jawa sampai di Semarang dan di tempat itulah ia bertemu dengan pedagang Arab namanya Syaikh, karena itulah maka Habib al-Gadri berlayar ke Sukadana. Dengan kesaktian Habib Husin al-Gadri menyebabkan ia mendapat banyak simpati dari raja, Sultan Matan dan rakyatnya. Kemudian Habib Husin al- Gadri pindah dari Matan ke Mempawah untuk meneruskan syiar Islam. Setelah wafat ia diganti oleh salah seorang putranya yang bernama Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam. Ia pergi dengan sejumlah rakyatnya ke tempat yang kemudian dinamakan Pontianak dan di tempat inilah ia mendirikan keraton dan masjid agung. Pemerintahan Syarif Abdurrahman Nur Alam ibn Habib Husin al-Gadri pada 1773- 1808, digantikan oleh Syarif Kasim ibn Abdurrahman al-Gadri pada 1808-1828 dan selanjutnya Kesultanan Pontianak di bawah pemerintahan sultan-sultan keluarga Habib Husin al-Gadri.
2. Kerajaan Banjar ( Banjarmasin )
Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam di pulau kalimantan yang wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar daerah kalimantan pada saat sekarang ini. Pusat Kerajaan Banjar yang pertama adalah daerah di sekitar Kuin Utara (sekarang di daerah Banjarmasin) , kemudian dipindah ke martapura setelah keraton di Kuin dihancurkan oleh Belanda. Kerajaan ini berdiri pada september 1526 dengan Sultan Suriansyah (Raden Samudera) sebagai Sultan pertama Kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar runtuh pada saat berakhirnya Perang Banjar pada tahun 1905.
Perang Banjar merupakan peperangan yang diadakan kerajaan Banjar untuk melawan kolonialisasi Belanda. Raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman (1862 – 1905), yang meninggal pada saat melakukan pertempuran dengan belanda di puruk cahu. Kemunculan Kerajaan Banjar tidak lepas dari melemahnya pengaruh Negara Daha sebagai kerajaan yang berkuasa saat itu. Tepatnya pada saat Raden Sukarama memerintah Negara Daha, menjelang akhir kekuasaannya dia mewasiatkan tahta kekuasaan Negara Daha kepada cucunya yang bernama Raden Samudera. Akan tetapi, wasiat tersebut ditentang oleh ketiga anak Raden Sukarama yaitu Mangkubumi, Tumenggung dan Bagulung. Setelah Raden Sukarama wafat, Pangeran Tumenggung merebut kekuasaaan dari pewaris yang sah yaitu Raden samudera dan merebut tahta kekuasaan Negara Daha. Wilayah Kerajaan Banjar semakin berkembang dan lama kelamaan luas wilayahnya semakin bertambah.
Kerajaan ini pada masa jayanya membentang dari banjarmasin sebagai ibukota pertama, dan martapura sebagai ibukota pengganti setelah banjarmasin direbut belanda, daerah tanah laut, margasari, amandit, alai, marabahan, banua lima yang terdiri dari Nagara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua serta daerah hulu sungai barito. Kerajaan semakin diperluas ke tanah bumbu, Pulau Laut, Pasir, Berau dan kutai di panati timur. Kotawaringin, Landak, Sukadana dan sambas di sebelah barat.
Semua wilayah tersebut adalah Wilayah Kerajaan Banjar (yang apabila dilihat dari peta zaman sekarang, Kerajaan Banjar menguasai hampir seluruh wilayah kalimantan di 4 provinsi yang ada). Semua wilayah tersebut membayar pajak dan upeti. Semua daerah tersebut tidak pernah tunduk karena ditaklukkan, tetapi karena mereka mengakui berada di bawah Kerajaan Banjar, kecuali daerah pasir yang ditaklukkan pada tahun 1663. Kekayaan alam/hasil bumi yaitu antara lain lada, rotan, damar, emas, dan intan. Mata pencaharian sebagian penuduk yaitu sebagai padagang, petani dan nelayan. Mempunyai hubungan pelayaran dan perdagangan dengan kerajaan lain seperti demak sehingga terjalin kerjasama yang menjadikan daerah pelabuhan menjadi ramai Dalam riwayatnya Kerajaan Banjar memiliki 19 orang raja yang pernah berkuasa. Sultan pertama kerajaan Banjar adalah Sultan Suriansyah (1526 – 1545), beliau adalah raja pertama yang memeluk Agama Islam. Raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman (1862 – 1905), yang meninggal pada saat melakukan pertempuran dengan belanda di puruk cahu. Sultan Suriansyah sebagai Raja pertama mejadikan Kuin Utara sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan Kerajaan Banjar.
Sedangkan Sultan Mohammad Seman berkeraton di daerah manawing – puruk cahu sebagai pusat pemerintahan pelarian. Kerajaan Banjar sebagai salah satu bandar dagang utama di wilayah Kalimantan merupakan pusat perdagangan lada yang mempunyai pengaruh timbal balik antara kedudukan politik dan ekonomi. Sebagai pelabuhan bebas, Kerajaan Banjar tentunya menarik minat bagi para pedagang antar kepulauan untuk sekedar transit maupun berdagang dengan penduduk lokal. Pedagang asing utamanya yang berasal dari Cina, Perancis, Spanyol dan Portugis tentunya juga memiliki minat untuk menjalin kerjasama perdagangan dengan kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar mengalami kemajuaan sebagai dampak dari diaktikannya wilayah kerajaan ini sebagai pelabuhan bebas, tetapi sebaliknya kehadiran unsur asing didaerah itu juga dapat mengakibatkan akselerasi faksionalisme atau perpecahan di kalangan istana. Adanya faksionalisme di Kerajaan Banjar sebagai dampak dari kehadiran unsur asing pada akhirnya menjadi bumerang yang menghancurkan kerajaan Banjar itu sendiri. Kehadiran pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang ikut campur dalam urusan adat kerajaan adalah bukti bahwa unsur asing yang hadir dalam Kerajaan Banjar nantinya akan memunculkan perpercahan dikalangan istana.
Keterlibatan unsur asing dalam urusan istana juga merupakan salah satu penyebab utama meletusnya perang antara Kerajaan Banjar dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Awal mulanya Kerajaan Banjar memiliki hubungan yang cukup baik dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, akan tetapi dengan ikut campurnya pemerintah kolonial dalam urasaan kerajaan mengakibatkan memanasnya hubungan diantara kedua belah pihak yang pada akhirnya akan menyebabkan pertempuran untuk mempertahankan hegemoni di wilayah Kalimantan Selatan. Perlawanan Kerajaan Banjar berlangsung dalam dua tahap, yang pertama berlangsung dari tahun 1859-1863, sedangkan perlawanan tahap kedua berlangsung dari tahun 1863-1905. Peperangan yang berlangsung hampir setengah abad lamanya berakhir dengan kekalahan di pihak Kerajaan Banjar. Dengan terpatahkannya perlawanan rakyat Banjar pada tahun 1905, maka hal ini menandai runtuhnya era dari Kerajaan Banjar yang telah berdiri sejak tahun 1520.

D. KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI
Di daerah Sulawesi juga tumbuh kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu. Berikut ini adalah beberapa kerajaan Islam di Sulawesi di antaranya Gowa Tallo, Bone, Wajo dan Sopeng, dan Kesultanan Buton. Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan itu yang terkenal antara lain Kerajaan Gowa Tallo.

1. Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan Gowa Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, seperti dengan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Luwu yang bersekutu dengan Wajo ditaklukan oleh Kerajaan Gowa Tallo. Kemudian Kerajaan Wajo menjadi daerah taklukan Gowa menurut Hikayat Wajo. Dalam serangan terhadap Kerajaan Gowa Tallo Karaeng Gowa meninggal dan seorang lagi terbunuh sekitar pada 1565. Ketiga kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng mengadakan persatuan untuk mempertahankan kemerdekaannya yang disebut perjanjian Tellumpocco, sekitar 1582. Sejak Kerajaan Gowa resmi sebagai kerajaan bercorak Islam pada 1605, maka Gowa meluaskan pengaruh politiknya, agar kerajaan-kerajaan lainnya juga memeluk Islam dan tunduk kepada Kerajaan Gowa Tallo. Kerajaan-kerajaan yang tunduk kepada kerajaan Gowa Tallo antara lain Wajo pada 10 Mei 1610, dan Bone pada 23 Nopember 1611.

Di daerah Sulawesi Selatan proses Islamisasi makin mantap dengan adanya para mubalig yang disebut Datto Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal dari Kolo Tengah, Minangkabau. Para mubalig itulah yang mengislamkan Raja Luwu yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari 1605 M). Kemudian disusul oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’rangi Daeng Manrabbia mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M. Perkembangan agama Islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaikbaiknya bahkan ajaran sufisme Khalwatiyah dari Syaikh Yusuf al-Makassari juga tersebar di Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke-17. Karena banyaknya tantangan dari kaum bangsawan Gowa maka ia meninggalkan Sulawesi Selatan dan pergi ke Banten. Di Banten ia terima oleh Sultan Ageng Tirtayasa bahkan dijadikan menantu dan diangkat sebagai mufti di Kesultanan Banten.

Dalam sejarah Kerajaan Gowa perlu dicatat tentang sejarah perjuangan Sultan Hasanuddin dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik dan ekonomi kompeni (VOC) Belanda. Semula VOC tidak menaruh perhatian terhadap Kerajaan Gowa Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan. Setelah kapal Portugis yang dirampas oleh VOC pada masa Gubernur Jendral J. P. Coen di dekat perairan Malaka ternyata di kapal tersebut ada orang Makassar. Dari orang Makassar itulah ia mendapat berita tentang pentingnya pelabuhan Sombaopu sebagai pelabuhan transit terutama untuk mendatangkan rempah-rempah dari Maluku. Pada 1634 VOC memblokir Kerajaan Gowa tetapi tidak berhasil. Peristiwa peperangan dari waktu ke waktu berjalan terus dan baru berhenti antara 1637-1638. Tetapi perjanjian damai itu tidak kekal karena pada 1638 terjadi perampokan kapal orang Bugis yang bermuatan kayu cendana, dan muatannya tersebut telah dijual kepada orang Portugis. Perang di Sulawesi Selatan ini berhenti setelah terjadi perjanjian Bongaya pada 1667 yang sangat merugikan pihak Gowa Tallo.

2. Kerajaan Tawo
Wajo pernah ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah tunduk pada 1610. Di samping itu diceritakan pula dalam hikayat tersebut bahwa bagaimana Dato’ ri Bandang dan Dato’ Sulaeman memberikan pelajaran agama Islam terhadap raja-raja Wajo dan rakyatnya dalam masalah kalam dan fikih. Pada waktu itu di Kerajaan Wajo dilantik pejabat-pejabat agama atau syura dan yang menjadi kadi pertama di Wajo ialah konon seorang wali dengan mukjizatnya ketika berziarah ke Mekkah. Diceritakan bahwa di Kerajaan Wajo selama 1612 sampai 1679 diperintah oleh sepuluh orang arung-matoa. Persekutuan dengan Gowa pada suatu waktu diperkuat dengan memberikan bantuan dalam peperangan tetapi berulangkali Gowa juga mencampuri urusan pemerintah Kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo sering pula membantu Kerajaan Gowa pada peperangan baru dengan Kerajaan Bone pada 1643, 1660, dan 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi karena didesak maka Kerajaan Bone sendiri takluk kepada Kerajaan Gowa-Tallo.

E. KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI MALUKU UTARA
Kepulauan Maluku menduduki posisi penting dalam perdagangan dunia di kawasan timur Nusantara. Mengingat keberadaan daerah Maluku ini maka tidak mengherankan jika sejak abad ke-15 hingga abad ke-19 kawasan ini menjadi wilayah perebutan antara bangsa Spanyol, Portugis dan Belanda. Sejak awal diketahui bahwa di daerah ini terdapat dua kerajaan besar bercorak Islam, yakni Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat pulau Halmahera di Maluku Utara. Kedua kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau Ternate dan Tidore, tetapi wilayah kekuasaannya mencakup sejumlah pulau di Kepulauan Maluku dan Papua.
Kerajaan Ternate dikenal sebagai pemimpin Uli Lima, yaitu persekutuan lima bersaudara dengan wilayahnya meliputi Ternate, Obi, Bacan, Seram dan Ambon. Sementara Kerajaan Tidore dikenal sebagai pemimpin Uli Siwa, yakni Persekutuan Sembilan (persekutuan Sembilan Saudara) dengan wilayahnya meliputi pulau pulau Makyan, Jailolo, atau Halmahera, dan pulau-pulau di daerah tersebut sampai dengan wilayah Papua.
Dalam bidang kebudayaan, di Maluku berkembang seni pahat, seni bangunan, dan seni patung. Seni bangunan berupa istana raja, bangunan masjid, dan lain-lain, tetap dikembangkan. Agama Islam dan bahasa Melayu juga semakin berkembang di Maluku.
F. KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI PAPUA
Sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa penyebaran Islam di Papua sudah berlangsung sejak lama. Bahkan, berdasarkan bukti sejarah terdapat sejumlah kerajaan-kerajaan Islam di Papua, yakni: (1) Kerajaan Waigeo (2) Kerajaan Misool (3) Kerajaan Salawati (4) Kerajaan Sailolof (5) Kerajaan Fatagar (6) Kerajaan Rumbati (terdiri dari Kerajaan Atiati, Sekar, Patipi, Arguni, dan Wertuar) (7) Kerajaan Kowiai (Namatota) (8). Kerajaan Aiduma (9) Kerajaan Kaimana proses Islamisasi tanah Papua, terutama di daerah pesisir barat pada pertengahan abad ke-15, dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan Islam di Maluku (Bacan, Ternate dan Tidore). Hal ini didukung karena faktor letaknya yang strategis, yang merupakan jalur perdagangan rempah-rempah (silk road) di dunia.
G. KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI NUSA TENGGARA
Kehadiran Islam ke daerah Nusa Tenggara antara lain ke Lombok diperkirakan sejak abad ke-16 yang diperkenalkan Sunan Perapen, putra Sunan Giri. Islam masuk ke Sumbawa kemungkinan dating lewat Sulawesi, melalui dakwah para mubalig dari Makassar antara 1540-1550. Kemudian berkembang pula kerajaan Islam salah satunya adalah Kerajaan Selaparang di Lombok.

1. Kerajaan Lombok dan Sumbawa
Selaparang merupakan pusat kerajaan Islam di Lombok di bawah pemerintahan Prabu Rangkesari. Pada masa itulah Selaparang mengalami zaman keemasan dan memegang hegemoni di seluruh Lombok. Dari Lombok, Islam disebarkan ke Pejanggik, Parwa, Sokong, Bayan, dan tempat-tempat lainnya. Konon Sunan Perapen meneruskan dakwahnya dari Lombok menuju Sumbawa. Hubungan dengan beberapa negeri dikembangkan terutama dengan Demak.
Kerajaan-kerajaan di Sumbawa Barat dapat dimasukkan kepada kekuasaan Kerajaan Gowa pada 1618. Bima ditaklukkan pada 1633 dan kemudian Selaparang pada 1640. Pada abad ke-17 seluruh Kerajaan Islam Lombok berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Gowa. Hubungan antara Kerajaan Gowa dan Lombok dipererat dengan cara perkawinan seperti Pemban Selaparang, Pemban Pejanggik, dan Pemban Parwa. Kerajaan-kerajaan di Nusa Tenggara mengalami tekanan dari VOC setelah terjadinya perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Oleh karena itu pusat Kerajaan Lombok dipindahkan ke Sumbawa pada 1673 dengan tujuan untuk dapat mempertahankan kedaulatan kerajaan-kerajaan Islam di pulau tersebut dengan dukungan pengaruh kekuasaan Gowa. Sumbawa dipandang lebih strategis daripada pusat pemerintahan di Selaparang mengingat ancaman dan serangan terhadap VOC terus-menerus terjadi.
2. Kerajaan Bima
Bima merupakan pusat pemerintahan atau kerajaan Islam yang menonjol di Nusa Tenggara dengan nama rajanya yang pertama masuk Islam ialah Ruma Ta Ma Bata Wada yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kahir. Sejak itu pula terjalin hubungan erat antara Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa, lebih-lebih sejak perjuangan Sultan Hasanuddin kandas akibat perjanjian Bongaya. Setelah Kerajaan Bima terus-menerus melakukan perlawanan terhadap masuknya politik dan monopoli perdagangan VOC akhirnya juga tunduk di bawah kekuasaannya. Ketika VOC mau memperbaharui perjanjiannya dengan Bima pada 1668 ditolak oleh Raja Bima, Tureli Nggampo; ketika Tambora merampas kapal VOC pada 1675 maka Raja Tambora, Kalongkong dan para pembesarnya diharuskan menyerahkan keris-keris pusakanya kepada Holsteijn.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Di sini pula terletak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke 15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497).
Sedangkan di Pulau Jawa juga berdiri kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah, kemudian berdiri pula Kesultanan Pajang yang dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam Demak. Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Gunung Jati.
Di Kalimantan juga berdiri dua buah kerajaan yaitu kerajaan Banjar yang rajanya bernama Sultan Suruiansyah, dan kerajaan Kutai yang salah satu rajanya bernama Tuan di bandang atau lebih dikenal dengan sebutan Dato’ Ri Bandang.
B. KRITIK DAN SARAN
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka kami  mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

file:///G:\new\Islam%20masuk%20istana%20raja%20-%20GUDANG%20MAKALAH.html
KELOMPOK%203%20SEJARAH%20INDONESIA%20TENTANG%20ISLAM%20MASUK%20ISTANA%20RAJA.docx
file:///G:\new\Perkembangan%20Kerajaan%20Islam%20di%20Papua%20–%20Sridianti.com.html
file:///G:\new\Kerajaan%20Islam%20Di%20Papua.html
file:///G:\new\SEJARAH%20SINGKAT%20KERAJAAN%20BANJAR.html
file:///G:\new\Sejarah%20kesultanan%20cirebon%20_%20KASKUS.html
file:///G:\new\Kerajaan%20Islam%20di%20Sumatra%20Selatan%20dan%20Barat%20_%20Mikirbae.html
file:///G:\new\Kerajaan%20Islam%20di%20Sumatra%20Selatan%20dan%20Barat%20_%20Mikirbae.html





No comments:

Post a Comment

islam masuk istana raja

MAKALAH SEJARAH INDONESIA ISLAM MASUK ISTANA RAJA  DISUSUN OLEH N. Sinta Sintia Nurhasanah Mariana Siti Sopiah Dendi Nurmansyah ...